MeTaLoYaL

tHe diFFErent isnt AlwaYz better But THE besT is always Different..
Showing posts with label PAKAIAN (كتاب اللباس). Show all posts
Showing posts with label PAKAIAN (كتاب اللباس). Show all posts

Tuesday, April 24, 2018

SAHIH BUKHARI 5474 (5929) : TIDAK MENOLAK PEMBERIAN MINYAK WANGI

Sahih Bukhari No. 5474

Sahih Bukhari No. 5929 (Fu'ad Abdul Baqi)


كتاب اللباس
باب مَنْ لَمْ يَرُدَّ الطِّيبَ


 عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ لَا يَرُدُّ الطِّيبَ وَزَعَمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَرُدُّ الطِّيبَ



KITAB PAKAIAN
Bab Tidak menolak wewangian


Telah menceritakan kepada kami [Abu Nu'aim] telah menceritakan kepada kami [Azrah bin Tsabit Al Anshari] dia berkata; telah menceritakan kepadaku [Tsumamah bin Abdullah

dari [Anas] radhiallahu 'anhu bahawa dia tidak pernah menolak (pemberian) minyak wangi, dan dia mengira bahawa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga tidak pernah menolak (pemberian) minyak wangi."


Dress
Chapter: Whoever did not refuse the scent


Anas never used to refuse (a gift of) scent and used to say that the Prophet (ﷺ) never used to refuse (a gift of) scent.


In-book reference : 
Book 77, Hadith 144

USC-MSA web (English) reference : 
Vol. 7, Book 72, Hadith 813 (deprecated numbering scheme)


Hadis Penguat :

Musnad Ahmad 11906
Musnad Ahmad 13252

**************************************************

Apatahlagi jika yang diberikan itu adalah minyak wangi. Bahkan ini adalah di antara kebiasaan Nabi SAW apabila diberikan minyak wangi. Anas Bin Malik berkata :

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَرُدُّ الطِّيبَ

Maksudnya : “ Sesungguhnya Nabi SAW tidak pernah menolak (pemberian) minyak wangi.”

Riwayat Al-Tirmizi (2789)

Perbuatan Nabi ini lalu diikuti oleh Anas sehingga menjadi kebiasaannya. Ibnu Battal menyebut bahawa Nabi SAW tidak menolaknya kerana ianya ada satu kelaziman para Malaikat ketika ingin bermunajat.


**********************************************

Seorang ulama tabi’in, Tsumamah bin Abdillah bercerita,

كَانَ أَنَسٌ لاَ يَرُدُّ الطِّيبَ. وَقَالَ أَنَسٌ إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لاَ يَرُدُّ الطِّيبَ

Anas tidak pernah menolak pemberian minyak wangi. Anas mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menolak minyak wangi. (HR. Bukhari 2582, Turmudzi 3019 dan yang lainnya).

Mengapa kita dilarang untuk menolaknya?

Ulama berbeda pendapat mengenai alasan mengapa pemberian minyak wangi dilarang untuk ditolak?

Pendapat pertama, kita dilarang menolak pemberian minyak wangi, maknanya adalah perintah agar kita selalu menggunakan minyak wangi. Tujuannya, agar kita bisa selalu dalam kondisi wangi. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menggunakan minyak wangi, agar beliau selalu bisa bermunajat dengan malaikat, dan malaikat menyukai bau harum. Ini merupakan pendapat Ibnu Batthal.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menukil keterangan Ibnu Batthal,

قَالَ بن بَطَّالٍ إِنَّمَا كَانَ لَا يَرُدُّ الطِّيبَ مِنْ أَجْلِ أَنَّهُ مُلَازِمٌ لِمُنَاجَاةِ الْمَلَائِكَةِ وَلِذَلِكَ كَانَ لَا يَأْكُلُ الثُّومَ وَنَحْوَهُ

Ibnu Batthal mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menolak minyak wangi, karena beliau selalu menjaga kondisi untuk ber-munajat dengan malaikat. Karena itulah, beliau tidak makan bawang atau makanan bau sejenisnya.

Namun pendapat ini dikomentari al-Hafidz Ibnu Hajar, bahwa jika alasan ini yang diterima tentu khusus berlaku bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Karena yang selalu bermunajat dengan Malaikat hanya beliau. Padahal tidak bolehnya menolak pemberian minyak wangi, juga berlaku untuk semua umatnya. (Fathul Bari, 5/209).

Pendapat kedua, bahwa larangan ini tujuannya untuk memperhatikan kondisi perasaan pemberi minyak wangi. Karena ketika hadiahnya ditolak, bisa jadi dia sakit hati. Karena itulah, dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan alasan mengapa dilarang menolak hadiah minyak wangi, karena benda ini ringan diterima, sehingga tidak selayaknya ditolak.

Sebagai contoh penerapannya, seperti yang disebutkan dalam hadis dari Ibnu Umar, mengenai 3 hal yang tidak boleh ditolak. Tiga benda ini, bantal untuk duduk, minyak wangi dan susu adalah jamuan pertama yang diberikan tuan rumah kepada tamunya yang baru datang. Secara materi, nilainya sangat murah. Sekalipun sangat murah, ketika itu diberikan sebagai penghargaan dari tuan rumah, hendaknya tamu tidak menolaknya, agar tidak menyakiti perasaan si pemberi.

Dalam Syarah Sunan Turmudzi, dinukil keterangan Imam at-Thibi,

قال الطيبي يريد أن يكرم الضيف بالوسادة والطيب واللبن وهي هدية قليلة المنة فلا ينبغي أن ترد

At-Thibi mengatakan, ‘Tuan rumah hendak memuliakan tamunya dengan bantal alas duduk, minyak wangi, dan susu. Hadiah ini nilainya kecil, karena itu, tidak selayaknya ditolak.’ (Tuhfatul Ahwadzi, 8/61).

Dengan melihat alasan pendapat kedua, bahwa larangan menolak pemberian minyak wangi, pada dasarnya termasuk bagian dari larangan menolak hadiah secara umum. Karena menerima hadiah dari sesama muslim, meskipun murah, bisa semakin memper-erat persaudaraan sesama muslim.

Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَجِيبُوا الدَّاعِىَ وَلاَ تَرُدُّوا الْهَدِيَّةَ وَلاَ تَضْرِبُوا الْمُسْلِمِينَ

“Penuhi undangan orang yang mengundang. Jangan tolak hadiah dan jangan memukul seorang muslim.” (Ahmad 3838, Ibnu Hibban 5603 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Juga disebutkan dalam riwayat lain, dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعْطِينِى الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ مَنْ هُوَ أَفْقَرُ إِلَيْهِ مِنِّى فَقَالَ « خُذْهُ ، إِذَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ شَىْءٌ ، وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ ، فَخُذْهُ ، وَمَا لاَ فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ

Bahwa suatu ketika Rasulullah memberikan sesuatu untukku lantas kusampaikan kepada Nabi, “Serahkan saja kepada yang lebih miskin dibandingkan diriku”. Nabi lantas bersabda, “Terimalah. Jika engkau mendapatkan pemberian harta padahal engkau tidak memintanya juga tidak mengharapkannya maka terimalah. Jika tidak dapat jangan berharap” (Muttafaq alaih)

Bagaimana status larangan ini?

Jumhur ulama mengatakan bahwa larangan ini bersifat larangan makruh dan bukan larangan haram. Sebagaimana keterangan Ibnu Abdil Bar dalam at-Tamhid (1/273). Sehingga, jika ada alasan lain yang membuat kita kesulitan untuk menerima pemberian minyak wangi, misalnya karena alasan kurang kuat dengan baunya atau baunya tidak sesuai selera, kita dibolehkan untuk menolaknya.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

SAHIH BUKHARI 5473 (5928) : MEMBERI WANGIAN TERBAIK

Sahih Bukhari No. 5473
Sahih Bukhari No. 5928 (Fu'ad Abdul Baqi)



كتاب اللباس
باب مَا يُسْتَحَبُّ مِنَ الطِّيبِ


حَدَّثَنَا مُوسَى حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ

 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ

 كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ إِحْرَامِهِ بِأَطْيَبِ مَا أَجِدُ


KITAB PAKAIAN
Bab Wewangian yang disunnahkan

Telah menceritakan kepada kami [Musa] telah menceritakan kepada kami [Wuhaib] telah menceritakan kepada kami [Hisyam] dari [Utsman bin Urwah] dari [Ayahnya

dari [Aisyah] radliallahu 'anha dia berkata; 

"Saya pernah memberi minyak wangi kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika beliau berihram dengan sebaik-baik minyak wangi yang saya dapatkan."


Dress
Chapter: What kind of scent is recommended

Narrated `Aisha:

used to perfume the Prophet (ﷺ) before his assuming the state of with the best scent available.

In-book reference : Book 77, Hadith 143
USC-MSA web (English) reference : Vol. 7, Book 72, Hadith 812 (deprecated numbering scheme)


Hadis Penguat :

Sunan Nasa'i 2642(2690)
Sunan Nasa'i 2643(2691)
Sunan Nasa'i 2653(2701)
Musnad Ahmad 23839
Musnad Ahmad 24543
Musnad Ahmad 24570
Musnad Ahmad 24967
Musnad Ahmad 25023
Sunan Darimi 1734(1843)


SAHIH BUKHARI 5472 (5927) : AMALAN PUASA UNTUK ALLAH, BAU MULUT ORANG BERPUASA LEBIH WANGI DARIPADA KASTURI

Sahih Bukhari No. 5927 (Fu'ad Abdul Baqi)


اللباس
ما يذكر في المسك

حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا هِشَامٌ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ ابْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

 عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ

 كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَلَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ


KITAB PAKAIAN
Bab : Apa Yang Disebutkan Tentang Kasturi.


Telah menceritakan kepadaku [Abdullah bin Muhammad] telah menceritakan kepada kami [Hisyam] telah mengabarkan kepada kami [Ma'mar] dari [Az Zuhri] dari [Ibnu Musayyab] dari [Abu Hurairah] radliallahu 'anhu 

dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda:

"Semua amalan bani Adam adalah untuknya kecuali puasa, sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku (Allah), dan Aku lah yang membalasnya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah dari pada harumnya minyak wangi."


Dress
Chapter: What has been mentioned about musk

Narrated Abu Huraira:

The Prophet (ﷺ) said, 

"(Allah said), 'Every good deed of Adam's son is for him except fasting; it is for Me. and I shall reward (the fasting person) for it.' Verily, the smell of the mouth of a fasting person is better to Allah than the smell of musk."


In-book reference : Book 77, Hadith 142
USC-MSA web (English) reference : Vol. 7, Book 72, Hadith 811
(deprecated numbering scheme)

Hadits Penguat :

Sahih Muslim 1942
Sahih Muslim 1944
Sunan Nasa'i 2185
Sunan Nasa'i 2186
Sunan Nasa'i 2187
Sunan Nasa'i 2188
Sunan Ibnu Majah 1628
Sunan Ibnu Majah 3813
Musnad Ahmad 7181
Musnad Ahmad 7368
Musnad Ahmad 7456
Musnad Ahmad 9643
Musnad Ahmad 10274

*****************************************


*********************************************

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

“Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak misk (kasturi).” (HR. Bukhari, no. 1894 dan Muslim, no. 1151).

Khuluf yang dimaksud dalam hadits adalah berubahnya bau mulut orang yang berpuasa.

Ada dua alasan kenapa sampai bau mulut orang yang berpuasa bisa dibalas dengan bau minyak kasturi (misk):

1- Amalan puasa itu adalah rahasia antara hamba dengan Allah. Karena itu rahasia yang ia sembunyikan, maka Allah pun membalasnya dengan menampakkan bau harum di antara manusia di hari kiamat.

2- Karena bekas ketaatan yang berakibat tidak enak bagi jiwa di dunia, bekas seperti itu akan dibalas dengan sesuatu yang menyenangkan pada hari kiamat. Artinya, bau mulut yang tidak enak akan dibalas dengan bau yang wangi karena bau mulut itu muncul dari amalan ketaatan pada Allah di dunia. (Lihat Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 286-288)

Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

كُلُّ شَيْءٍ فِي عُرْفِ النَّاسِ فِي الدُّنْيَا إِذَا انْتَسَبَ إِلَى طَاعَتِهِ وَرِضَاهُ فَهُوَ الكَامِلُ فِي الحَقِيْقَةُ

“Segala sesuatu yang dianggap kurang di dunia menurut pandangan manusia namun jika itu didapati karena melakukan ketaatan pada Allah dan mencari ridha-Nya, maka hakekatnya kekurangan tersebut adalah kesempurnaan (di sisi Allah).” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 288)

Bau mulut yang harum di hari kiamat timbul dari ketaatan yang dilakukan di dunia. Bau mulut harum tersebut membuat orang lain makin mencintainya di akhirat kelak. Itulah yang disebutkan dalam ayat,

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang. ” (QS. Maryam: 96)

Kaitan dengan ini, bagaimana hukum menyikat gigi saat puasa apakah membatalkan puasa?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Lebih utama adalah orang yang berpuasa tidak menyikat gigi (dengan pasta). Waktu untuk menyikat gigi sebenarnya masih lapang. Jika seseorang mengakhirkan untuk menyikat gigi hingga waktu berbuka, maka dia berarti telah menjaga diri dari perkara yang dapat merusak puasanya.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 17:261-262).



**************************************************************

Dalam riwayat Ahmad dikatakan,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ كُلُّ الْعَمَلِ كَفَّارَةٌ إِلاَّ الصَّوْمَ وَالصَّوْمُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ

“Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Setiap amalan adalah sebagai kafaroh/tebusan kecuali amalan puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya”.”[3]

[3] HR. Ahmad 2/467. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim

Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan, “Pada hari kiamat nanti, Allah Ta’ala akan menghisab hamba-Nya. Setiap amalan akan menembus berbagai macam kezholiman yang pernah dilakukan, hingga tidak tersisa satu pun kecuali satu amalan yaitu puasa. Amalan puasa ini akan Allah simpan dan akhirnya Allah memasukkan orang tersebut ke surga.”

Jadi, amalan puasa adalah untuk Allah Ta’ala. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang pun mengambil ganjaran amalan puasa tersebut sebagai tebusan baginya. Ganjaran amalan puasa akan disimpan bagi pelakunya di sisi Allah Ta’ala. Dengan kata lain, seluruh amalan kebaikan dapat menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan oleh pelakunya. Sehingga karena banyaknya dosa yang dilakukan, seseorang tidak lagi memiliki pahala kebaikan apa-apa.

Ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa hari kiamat nanti antara amalan kejelekan dan kebaikan akan ditimbang, satu yang lainnya akan saling memangkas. Lalu tersisalah satu kebaikan dari amalan-amalan kebaikan tadi yang menyebabkan pelakunya masuk surga.

Itulah amalan puasa yang akan tersimpan di sisi Allah. Amalan kebaikan lain akan memangkas kejelekan yang dilakukan oleh seorang hamba. Ketika tidak tersisa satu kebaikan kecuali puasa, Allah akan menyimpan amalan puasa tersebut dan akan memasukkan hamba yang memiliki simpanan amalan puasa tadi ke dalam surga.

******************************

Harumnya bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah ini ada dua sebab:

[Pertama] Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Allah di dunia. Ketika di akhirat, Allah pun menampakkan amalan puasa ini sehingga makhluk pun tahu bahwa dia adalah orang yang gemar berpuasa. Allah memberitahukan amalan puasa yang dia lakukan di hadapan manusia lainnya karena dulu di dunia, dia berusaha keras menyembunyikan amalan tersebut dari orang lain. Inilah bau mulut yang harum yang dinampakkan oleh Allah di hari kiamat nanti karena amalan rahasia yang dia lakukan. 

[Kedua] Barangsiapa yang beribadah dan mentaati Allah, selalu mengharap ridho Allah di dunia melalui amalan yang dia lakukan, lalu muncul dari amalannya tersebut bekas yang tidak terasa enak bagi jiwa di dunia, maka bekas seperti ini tidaklah dibenci di sisi Allah. Bahkan bekas tersebut adalah sesuatu yang Allah cintai dan baik di sisi-Nya. Hal ini dikarenakan bekas yang tidak terasa enak tersebut muncul karena melakukan ketaatan dan mengharap ridho Allah. Oleh karena itu, Allah pun membalasnya dengan memberikan bau harum pada mulutnya yang menyenangkan seluruh makhluk, walaupun bau tersebut tidak terasa enak di sisi makluk ketika di dunia.

Inilah beberapa keutamaan amalan puasa. Inilah yang akan diraih bagi seorang hamba yang melaksanakan amalan puasa yang wajib di bulan Ramadhan maupun amalan puasa yang sunnah dengan dilandasi keikhlasan dan selalu mengharap ridho Allah.[4]

[4] Pembahasan ini disarikan dari Latho’if Al Ma’arif, hal. 268-290.


https://almanhaj.or.id/15914-firman-allah-taala-puasa-untukku-dan-aku-yang-akan-membalasnya.html


****************************************************************

Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan bahwa bau mulut berasal dari uap lambung yang baik ke mulut. Beliau berkata,


خلوف الفم: رائحة ما يتصاعد منه من الأبخرة لخلو المعدة من الطعام بالصيام، وهي رائحة مستكرهة في مشام الناس في الدنيا لكنها طيبة عند الله حيث كانت ناشئة عن طاعته وابتغاء مرضاته، كما أن دم الشهيد يجيء يوم القيامة يثغب دماً لونه لون الدم وريحه ريح المسك


“Bau yang naik berupa uap karena kekosongan lambung dari makanan ketika puasa. Bau yang tidak disukai oleh penciuman manusia di dunia, akan tetapi baik di sisi Allah karena muncul dari ketaatan dan mencari keridhaan Allah. Sebagaimana darah orang yang syahid akan datang pada hari kiamat, warnanya warna darah tetapi baunya bau misk.” [Al-Lathaif Al-Ma’arif hal 161]


Copyright © 2024 muslim.or.id

Monday, April 23, 2018

SAHIH BUKHARI 5471 (5926) : MENYIKAT/MENYISIR, BERWUDHUK MENDAHULUKAN YANG KANAN

Sahih Bukhari No. 5926 (Fu'ad Abdul Baqi)


اللباس
الترجيل والتيمن



 عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ مَا اسْتَطَاعَ فِي تَرَجُّلِهِ وَوُضُوئِهِ

KITAB PAKAIAN
Bab Menyisir dan mendahulukan sebelah kanan


Telah menceritakan kepada kami [Abu Al Walid] telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] dari [Asy'ats bin Sulaim] dari [Ayahnya] dari [Masruq] dari [Aisyah

dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahawa beliau menyukai tayamun (mendahulukan yang kanan) ketika menyisir rambut dan berwuduk'."


Dress
Chapter: To start combing the hair from the right side

'Narrated `Aisha:

The Prophet (ﷺ) used to like to start from the right side as far as possible in combing and in performing ablution.


In-book reference : Book 77, Hadith 141
USC-MSA web (English) reference : Vol. 7, Book 72, Hadith 810
(deprecated numbering scheme)


Hadits Penguat :

Sunan Abu Daud 3611
Sunan Nasa'i 418
Musnad Ahmad 23486
Musnad Ahmad 24369


**********************************************************


**************************************************************

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai mendahulukan yang kanan ketika memakai sendal, ketika menyisir rambut dan ketika bersuci, juga dalam setiap perkara (yang baik-baik).” (HR. Bukhari no. 186 dan Muslim no. 268).

Yang dimaksud tarojjul dalam hadits -kata Ibnu Hajar- adalah menyisir dan meminyaki rambut, sebagaimana disebut dalam Al Fath, 1: 270.

Imam Nawawi mengatakan bahwa dalam riwayat lain digunakan lafazh ‘maastatho’a‘, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa salalm menyukai mendahulukan memulai yang kanan semampu beliau dalam setiap perkara. Ini isyarat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berusaha keras mendahulukan yang kanan dalam setiap perkara yang baik. Lihat Syarh Shahih Muslim, 3: 143.




*****************************************

QAWA’ID FIQHIYAH

Kaidah Keempat Puluh Enam

تُقَدَّمُ الْيَمِيْنُ فِي كُلِّ مَا كَانَ مِنْ بَابِ التَّكْرِيْمِ وَالتَّزَيُّنِ وَالْيُسْرَى فِيْمَا عَدَاهُ

Didahulukan bagian kanan dalam perkara-perkara yang mulia maupun berhias dan didahulukan bagian kiri dalam perkara selainnya


MAKNA KAIDAH

Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menciptakan para makhluk-Nya dan Dia telah memilih darinya sesuai kehendaki-Nya. Diantara yang dipilih-Nya adalah sisi sebelah kanan yang ditakdirkan memiliki keutamaan dan kemuliaan yang lebih dibandingkan sisi sebelah kiri. Jika kita mencermati dalil-dalil syar’i, maka kita dapati bahwa suatu perkara atau perbuatan jika termasuk dalam hal yang mulia, yang indah, dan ibadah, maka disyariatkan untuk dimulai dari yang kanan terlebih dahulu. Namun jika suatu perkara bukan termasuk dalam kategori tersebut, yaitu berupa hal-hal yang kurang utama, seperti menghilangkan atau mencuci najis, atau mengambil benda-benda yang kotor, maka yang lebih didahulukan adalah anggota badan yang kiri. Inilah makna dan kandungan kaidah ini secara umum.[1]


DALIL YANG MENDASARINYA

Diantara dalil yang menunjukkan eksistensi kaidah ini adalah hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma :


كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai memulai dari sebelah kanan saat mengenakan sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam semua urusannya.[2]


Demikian pula disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا تَوَضَّأْتُمْ فَابْدَأُوْا بِمَيَامِنِكُمْ

Apabila kalian berwudhu maka mulailah dari anggota badan sebelah kanan.[3]

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam berkata, “Disunnahkan mendahulukan tangan kanan dan kaki kanan ketika berwudhu. Yaitu dengan membasuh tangan kanan terlebih dahulu kemudian tangan kiri, serta membasuh kaki kanan terlebih dahulu baru kemudian kaki kiri.”[4]

Disebutkan pula dalam hadits Anas Radhiyallahu anhu tentang mendahulukan kaki ketika masuk masjid, ia berkata :


مِنَ السُّنَّةِ إِذَا دَخَلْتَ الْمَسْجِدَ أَنْ تَبْدَأَ بِرِجْلِكَ الْيُمْنَى وَإِذَا خَرَجْتَ أَنْ تَبْدَأَ بِرِجْلِكَ الْيُسْرَى


Termasuk dalam perkara sunnah adalah jika engkau masuk masjid maka engkau mendahulukan kaki kanan, dan jika engkau keluar masjid maka engkau dahulukan kaki kiri.[5]

Hadits ini menjelaskan bahwa apabila seseorang berpindah dari tempat yang kurang mulia ke tempat yang mulia hendaknya ia mendahulukan kaki kanannya terlebih dahulu barulah kemudian kaki kirinya.

Footnote

[1] Imam an-Nawawi menyebutkan kaidah ini dalam kitab Riyâdhus Shâlihin pada bab ke-99 dengan mengatakan, “Bab disunnahkan mendahulukan bagian kanan dalam setiap perkara yang berkaitan dengan kemuliaan. (Lihat Bahjatun Nâzhirin Syarh Riyâdhus Shâlihîn, Syaikh Abu Usâmah Salim bin ‘Id al-Hilali, Cet. ke-1, 1430 H, Dar Ibn al-Jauzi, Damam, II/41)

[2] HR. al-Bukhari no. 5926 dan Muslim 268 dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.

[3] HR. Abu Dawud no. 4141, Ibnu Majah no. 302. Dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud no. 4141.

[4] Taudhîhul Ahkâm min Bulûghil Maram, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Cet. ke-5, 1423 H/2003 M, Maktabah al-Asadiy, Makkah al-Mukarramah, I/232.

[5] HR. al-Hakim dan dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts as-Shahihah no. 2478.

Referensi : https://almanhaj.or.id/4245-kaidah-ke-46-didahulukan-bagian-kanan-dalam-perkara-perkara-yang-mulia-maupun-berhias.html




SAHIH BUKHARI 5470 (5925) : ISTERI MENYIKAT RAMBUT SUAMI SEMASA HAID


Sahih Bukhari No. 5925 (Fu'ad Abdul Baqi)


اللباس
ترجيل الحائض زوجها



 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ

 كُنْتُ أُرَجِّلُ رَأْسَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا حَائِضٌ

 حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ مِثْلَهُ


KITAB PAKAIAN
Bab isteri menyisiri suami

Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Yusuf] telah mengkhabarkan kepada kami [Malik] dari [Ibnu Syihab] dari [Urwah bin Zubair

dari [Aisyah] radliallahu 'anha dia berkata; 

"Saya pernah menyisir rambut Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sementara diriku sedang haid." 

Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Yusuf] telah mengkhabarkan kepada kami [Malik] dari [Hisyam] dari [Ayahnya] dari [Aisyah] seperti hadis di atas."



Dress
Chapter: The combing of the hair of the husband by his menstruating wife

Narrated `Aisha:

I used to comb the hair of Allah's Messenger (ﷺ) during my periods.


In-book reference : Book 77, Hadith 140
USC-MSA web (English) reference : Vol. 7, Book 72, Hadith 808
(deprecated numbering scheme)


Hadis Penguat :

Sahih Muslim 449(297)
Sunan Nasa'i 276(277,278)
Sunan Nasa'i 386(389)
Musnad Ahmad 24738
Muwatha' Malik 120(137)
Sunan Darimi 1040(1098)
Sunan Darimi 1041(1099)
Sunan Darimi 1050(1108)
Sunan Darimi 1051(1109)

SAHIH BUKHARI 5469 (5924) : MENYIKAT MENYISIR RAMBUT

Sahih Bukhari No. 5924 (Fu'ad Abdul Baqi)

اللباس
الامتشاط

حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ
 
أَنَّ رَجُلًا اطَّلَعَ مِنْ جُحْرٍ فِي دَارِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحُكُّ رَأْسَهُ بِالْمِدْرَى

فَقَالَ

لَوْ عَلِمْتُ أَنَّكَ تَنْظُرُ لَطَعَنْتُ بِهَا فِي عَيْنِكَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِذْنُ مِنْ قِبَلِ الْأَبْصَارِ



KITAB PAKAIAN
Bab Bersisir

Telah menceritakan kepada kami [Adam bin Abu Iyas] telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abu Dzi'b] dari [Az Zuhri] dari [Sahl bin Sa'd] 

bahawa seorang laki-laki sedang mengintip dari kamar rumah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, sementara Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tengah menyisir rambutnya dengan midra (sejenis sisir), 

maka beliau bersabda: 

"Sekiranya aku mengetahui kamu mengintip, sungguh aku akan mencolok kedua matamu, bukankah diperlakukannya meminta izin demi pandangan."


Dress
Chapter: Combing one's hair

A man peeped into the house of the Prophet through a hole while the Prophet (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَwas scratching his head with a Midrai (a certain kind of comb). 

On that the Prophet (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) said (to him), 

"If I had known you had been looking, then I would have pierced your eye with that instrument, because the asking of permission has been ordained so that one would not see things unlawfully."



Reference : 

In-book reference : 
Book 77, Hadith 139

USC-MSA web (English) reference : 
Vol. 7, Book 72, Hadith 807 (deprecated numbering scheme)

**************************************

Hadis Penguat :

Sahih Bukhari 5772
Sahih Muslim 4014
Sunan Tirmidzi 2633
Sunan Nasa'i 4776


*************************************************